Jiwa manusia atau dalam istilah Al Quran disebut sebagai nafs, adalah hakikat manusia sebenarnya, jiwa manusia yang akan mengalami perjalanan panjang kehidupan dari alam perjanjian dahulu (lihat QS 7:172) memasuki alam rahim, lalu ke alam dunia dengan menggunakan pakaian jasad yang kita banggakan sekarang dengan ketampanannya atau kecantikannya. Dari perjalanan dunia ini, jasad manusia hanya diberi kesempatan hidup oleh ruh Allah selama yang tertulis di alam Azali, apakah telah ditetapkan 40 tahun, 50 tahun atau 90 tahun atau bahkan hanya 4 bulan. Jasad manusia hanya menemani sang jiwa selama dia memang diperkenankan oleh Allah melewatinya, sedangkan pasca kematian jasad itu, sang jiwa masih harus menempuh perjalanan berikutnya di alam barzakh. Sebuah alam yang berdiam di sana para jiwa dari manusia pertama yaitu Adam a.s. hingga zaman hari ini yang telah melewati kehidupan dunianya…
Di alam barzakh inilah sebenarnya masing-masing jiwa akan mendapatkan buah dari apa yang ”ditanamnya” di alam dunia bersama sang jasadnya. Kebaikan demi kebaikan yang Allah redhai akan membuat jiwanya merasakan hasil tuaiannya, maka di alam barzakh itu mereka akan diperjalankan dalam kedamaian, kemudian sebagaimana dalam Al Quran sebutkan, mereka diperkenankan berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia yang masih hidup di dunia ini….
- Surah Al An ‘Aam (Haiwan Ternak) 6:122
Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.
- Surah Al An ‘Aam 6: 122
Kerana itulah, betapa berharganya kehidupan di dunia ini jika seandainya setiap diri manusia sedar akan tujuan hidupnya. Sedar bahawa perjalanan dunia hanyalah sebuah perlintasan sesaat sebelum manusia itu melanjutkan perjalanan panjangnya di alam berikutnya. Dan keberhargaan dunia ini tentu diukur dari kualiti dirinya di dunia ini, dan kualiti diri diukur dari kualiti jiwanya, atau kualiti hatinya, bukan kualiti keindahan fizikal jasadnya. Betapa hati manusia atau hati manusia itu memiliki kedudukan yang sangat mendasar. Dan betapa kesucian jiwanya berkaitan dengan kesucian hatinya dan kekotoran sang manusia dihadapan Allah tentu berkaitan dengan kekotoran dan kenistaan sang jiwa itu sendiri akibat dosa-dosanya…
Hati manusia sebagai fokus utama pandangan Allah. Hati manusia menjadi tempat bersemayamnya asma-asma Allah, tentu bukan sebarangan hati tapi hati yang telah Allah sucikan, Allah dekatkan dan Allah murnikan semurni-murninya…
Sedikit kutipan tulisan dari pengantar buku Al-Hakim al-Tirmidzi,
“Biarkan Hatimu Bicara!”,
Al kisah, ketika itu Nasruddin Hoja diangkat menjadi seorang hakim. Suatu hari saat dia sedang mencatat perkara yang masuk, dua orang lelaki datang mengadu. Masing-masing mengaku sebagai pemilik sehelai jubah dan tidak ada yang mahu mengalah.
Nasruddin menyuruh mereka memegang hujung jubah itu. Lalu dengan segera, dia kembali bekerja. Asyik sekali dia bekerja seolah-olah tidak hirau dengan dua orang lelaki yang berdiri di depan mejanya sambil memegang hujung jubah.
Beberapa minit kemudian, Nasruddin dengan keras menjerit, ”Hai pencuri! Serahkan jubah itu pada yang punya!”
Secara spontan, salah seorang dari mereka melepaskan hujung jubah yang dia pegang. Dengan demikian, tahulah Nasruddin milik siapa jubah itu.
Begitulah. Orang bersalah memang sukar membohongi dirinya sendiri. Seribu orang boleh dikelabui dengan mimik wajah atau lakonan. Tapi, hati kecilnya sendiri tidak mungkin dikelabui. Hatilah, menurut ulama sufi, pusat motivasi dan pengetahuan kita.. Hati bahkan mampu mengetahui apa yang diingkari oleh fikiran rasional.
Kerana itulah Nabi SAW. berpesan, ”Istafti qalbak,” mintalah fatwa pada hatimu…”kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.” (HR Ahmad dan Al-Daarimi).
Di sini hati menjadi tempat bertanya bagi kita tak kala harus memutuskan sesuatu yang penting. Ia sumber cahaya batiniyah, inspirasi, kreativiti, dan belas kasih.
Dalam hadis lain, hati pulalah penentu kualiti seseorang: ”Hati bagaikan raja, dan hati memiliki bala tentera. Bila raja itu baik,maka baiklah seluruh bala tenteranya. Dan, kalau hati itu rosak, maka rosaklah seluruh bala tenteranya” (Kanzul Ummal, hadis ke 1205)
Namun pertanyaan kita bersama adalah, apakah semua hati manusia boleh kita tanya untuk mendapatkan jawapan yang bijak, yang benar menurut Allah, dan yang melorong kita pada keredhaan-Nya? Adakah mungkin jika hati manusia boleh ditanya dan memperlihatkan kebenaran, tapi faktanya banyak manusia masih lagi leka dan terjebak pada tindakan-tindakan kemaksiatan, kejahatan dan keburukan lainnya? Mengapa pula tidak banyak manusia yang sedar bahawa dalam dirinya ada sebuah potensi Ilahiyah yang akan membimbingnya pada jalan kesucian? Apa yang membuat pemahaman manusia tentang keajaiban hati ini menjadi terhijab? Apa yang terjadi apabila semua umat Rasulullah mampu menggunakan hati nuraninya, hati terdalamnya yang telah Allah berikan cahaya-Nya?
Mudah-mudahan semua pertanyaan ini memicu kita dalam sebuah renungan panjang, semoga kita dapat memanfaatkan potensi besar yang menakjubkan ketika kita pada hakikatnya telah Allah kurniakan sebuah hati nurani, dan kemudian terbebas dari dosa dan terlepas hijab-hijabnya…
Semoga tulisan kecil ini dapat menjadi pengantar renungan berikutnya untuk dapat memahami hakikat hati atau hati manusia yang sangat cerdas ini….