NASIHAT SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI TENTANG REDHA
"Kalian harus senantiasa ridha kepada Allah Azza wa Jalla dalam keadaan senang maupun susah, dalam keadaan baik maupun buruk, sehat ataupun sakit, kaya maupun miskin, dan dalam keadaan sukses ataupun gagal.
Aku tidak melihat ubat yang baik bagi kalian selain berserah diri kepada-Nya,
Jika Allah menakdirkan sesuatu bagi kalian, janganlah takut.
Janganlah mengeluh kepada selain-Nya, sebab itu justeru itu ia akan menyebabkan bencana bagi kalian,
Tenang dan diamlah!
Jika kalian redha,
Dia akan mengubah kesusahan kalian menjadi kebahagiaan!"
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Fath Ar-Rabban
MAQAM SABAR MENURUT SUFI
MAQAM SABAR MENURUT SUFI
Sabar (Ash-Shabru) dalam tasawuf adalah maqam yang harus ditempuh bagi tiap salik. Hal ini kerana dalam laku tasawuf (orang sufi) akan mengalami banyak hambatan, cubaan dan ujian, maka laku sabar adalah tahapan yang harus ditempuh dengan baik.
Sabar adalah tunggak kebahagiaan seorang hamba. Sabar adalah upaya menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah, serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, lalu berusaha untuk konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cubaan.
Amru bin Usman mengatakan, bahawa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahawa sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-Qur'an dan sunnah.
Sehingga sesungguhnya sabar tidak sama dengan kepasrahan dan ketidak mampuan.
Justru orang yang seperti ini memiliki petunjuk adanya ketidak sabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidaksabaran untuk berusaha, ketidaksabaran untuk berjuang dan lain sebagainya. Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabar adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi.
Sabar ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara yang tidak diingini mahupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa A’isyah menuturkan Rasulullah SAW bersabda, “Sabar (yang sebenarnya) itu adalah pada saat menghadapi cubaan yang pertama.”
Kerana itu sabar dibahagi menjadi beberapa macam: sabar terhadap apa yang diperoleh si hamba (melalui amalan-amalanya),
misalnya sabar menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah. Dan sabar terhadap apa yang diperoleh tanpa upaya, misalnya kesabaran dalam menjalankan ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaran baginya.
Al-Junaid menegaskan, “perjalanan dari dunia ke akhirat adalah mudah bagi orang yang beriman, tetapi menghindari makhluk demi Allah adalah sulit. Dan perjalanan dari diri sendiri menuju Allah SWT adalah sangat sulit, tetapi yang lebih sulit lagi adalah bersabar terhadap Allah.”
Ketika ditanya tentang sabar, Al-Junaid menjawab, ”sabar adalah meminum kepahitan tanpa wajah mengerut.” dan
Ali bin Abi Thalib ra, menyatakan,”hubungan antara sabar dengan iman seperti hubungan antara kepala dengan badan.”
Al-Jurairi menjelaskan,“sabar tidaklah membedakan keadaan bahagia atau menderita, disertai dengan ketenteraman pikiran dalam keduanya. Ketabahan yang sabar adalah mengalami kedamaian ketika menerima cubaan, meskipun dengan adanya kesadaran akan beban penderitaan.”
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan,”kebenaran hakiki tentang sabar adalah jika si hamba keluar dari cubaan dalam keadaan seperti ketika ia memasukinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ayub as pada Akhir cubaan yang menimpanya, ‘sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah tuhan yang maha penyayang diantara semua yang penyayang’(QS.Al-Anbiya’:83).
Nabi Ayyub memperlihatkan sikap berbicara yang layak dengan ucapanya,’Dan Engkau adalah Tuhan yang maha penyayang diantara semua yang menyayangi’ tetapi dia tidak bicara secara eksklusif [seperti yang dikatakanya], ‘Limpahkanlah kasih sayang-Mu kepadaku’.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah.
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah.
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain.
Syekh Ibn ‘Atha’illah membahagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah.
Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut sufi untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas sufi untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.